Dari Kantor Negeri ke Akses Tambang: Ketidakpuasan Warga Meledak di Tambang Pasir Negeri Hative Besar

Pihak Kepolisian saat melakukan pengamanan aksi demo lanjutan di tambang pasir Negeri Hative Besar (Foto: WP)

LAPORAN INVESTIGATIF KAKEHANG

Judul: “Dari Kantor Negeri ke Akses Tambang: Ketidakpuasan Warga Meledak di Tambang Pasir Negeri Hative Besar”

Oleh: Tim Investigasi K’LAU K’DARA – KAKEHANG | Hative Besar, Maluku | Juni 2025

Masa aksi demo melakukan penutupan jalan masuk ke tambang pasir Negeri Hative Besar. (Foto: Kakehang-WP)

LATAR BELAKANG:

Apa yang terlihat sebagai aksi dadakan penutupan jalan tambang milik Negeri Hative Besar yang dikelola oleh Pengusaha bernama Wilson, ternyata merupakan kelanjutan dari rangkaian ketegangan sosial yang telah lama membara di Negeri Hative Besar.
Bermula dari demonstrasi masyarakat di Kantor Pemerintah Negeri, warga menyampaikan kekecewaan terhadap kinerja Saniri Negeri dan Pemerintah Negeri Hative Besar, yang dinilai tidak transparan dan tidak adil dalam mengelola urusan negeri, khususnya berkaitan dengan kontribusi dari usaha tambang pasir.


FASE 1: DEMO DI KANTOR NEGERI — SUARA WARGA TAK DIDENGAR

Dalam aksi protes beberapa waktu sebelumnya, warga:

  • Menuntut kejelasan “mata rumah parentah” dan siapa yang berwenang mewakili negeri dalam pengambilan keputusan.
  • Mempertanyakan aliran dana kontribusi dari pengusaha tambang, yang dinilai tidak merata dan tak transparan.
  • Menyatakan bahwa keputusan-keputusan penting diambil sepihak oleh kelompok tertentu dalam pemerintah negeri tanpa partisipasi seluruh marga.

Namun, tidak ada tindak lanjut nyata dari Saniri Negeri dan Pemerintah Negeri setelah aksi tersebut. Sejumlah warga merasa aspirasi mereka diabaikan.


FASE 2: AKSI TUTUP JALAN TAMBANG — DARI KANTOR KE LAPANGAN

Karena tidak puas, warga melanjutkan tekanan melalui tindakan langsung: menutup jalan akses menuju tambang pasir milik Wilson.
Aksi ini dilakukan sebagai simbol:

“Kalau suara kami tidak didengar di kantor negeri, maka suara kami akan terdengar di jalan. Hari ini tambang Katong tutup” Ujar salah seorang Pendemo.

Ini adalah bentuk pemberontakan sosial terhadap sistem adat yang dianggap sudah tak mewakili rakyatnya sendiri.


Wilson, Pengusaha sekaligus pengelola Tambang Pasir Negeri Hative Besar saat didatangi Masyarakat Hative Besar sebelum melakukan penutupan tambang pasir. (Foto: WP)

PENGAKUAN WILSON: TERJEBAK DI TENGAH KONFLIK ANTAR ANAK NEGERI

Wilson, Pihak ketiga, pengelola dan pengusaha tambang yang disebut dalam aksi, mengaku berada dalam posisi sulit.
Ia:

  • Telah membayar Rp 400 juta per tahun ke Negeri Hative Besar
  • Juga membayar Rp 100 juta per tahun ke Pemkot Ambon
  • Memberikan bantuan sosial dan infrastruktur warga sejak awal beroperasi

Namun, kini usahanya terhenti karena konflik internal masyarakat.

“Beta bayar resmi, beta bantu negeri. Tapi beta seng (tidak) bisa ikut campur, itu urusan negeri. Tapi beta juga seng bisa rugi, orang-orang yang kerja disini juga termasuk anak negeri Hative Besar, lalu dong juga butuh makan.” tegas Wilson.


ANALISIS KAKEHANG: KONFLIK TIGA LAPIS

Lapisan 1: Konflik Sosial-Internal
Antara warga dan elit adat/pemerintah negeri.

Lapisan 2: Konflik Akses Ekonomi
Soal siapa yang berhak menikmati hasil usaha, dan siapa yang merasa dikesampingkan.

Lapisan 3: Ketidakmampuan Lembaga Formal Menyerap Aspirasi
Saniri Negeri tidak responsif terhadap aspirasi warga yang sah, menyebabkan legitimasi lembaga adat mulai diragukan.


KESIMPULAN INVESTIGATIF

Aksi penutupan tambang bukan serangan terhadap pengusaha, tapi protes terhadap pemerintah adat yang kehilangan kepercayaan warga.
Selama struktur “mata rumah parentah” tidak dirapikan, selama kontribusi tidak transparan, dan selama warga tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, konflik serupa akan terus terjadi, meski tambang dibuka atau ditutup berkali-kali.


REKOMENDASI TIM K’LAU K’DARA:

  1. Audit terbuka dan pelibatan masyarakat dalam laporan keuangan kontribusi tambang.
  2. Musyawarah adat inklusif untuk menata ulang posisi “mata rumah parentah” secara sah dan adil.
  3. Dialog bersama pengusaha, Saniri, dan masyarakat, difasilitasi oleh lembaga independen (tokoh agama, akademisi, atau LSM).
  4. Pemerintah Kota Ambon harus ikut serta, mengingat kontribusi PAD juga masuk ke kas kota.

Redaksi KAKEHANG membuka ruang hak jawab bagi semua pihak agar pemberitaan yang beredar tetap berimbang, sesuai prinsip jurnalistik yang jujur dan adil.

Jika Anda memiliki informasi tambahan atau klarifikasi lanjutan, silakan kirimkan ke: redaksi@kakehang.com atau hubungi langsung tim kami di nomor 0821-1475-7575.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *