OPINI  

Maluku Bisa Swasembada Bawang Merah!

Charles Gigir Anidlah

Oleh: Charles Gigir Anidlah

Dua minggu lalu, saya jalan dinas ke Maluku Tengah. Rencana ingin mengunjungi sentra produksi padi. Namun terganggu karena hujan lebat. Kendaraan saya tidak bisa tembus lokasi. Dalam bincang dengan teman seperjalanan muncul soal tanaman bawang merah. Menurut teman saya cukup menjanjikan. Hasilnya saya susun dalam catatan berikut ini.

Saya cukup kaget, sebab produksi bawang merah di Dusun Oli, Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, telah menorehkan prestasi penting. Dengan hasil panen 14–16 ton per hektare, angka ini jauh melampaui rata-rata nasional yang hanya 8–10 ton per hektare. Lebih dari sekadar angka, capaian ini memberi sinyal kuat: Maluku tak lagi sekadar penonton dalam percaturan pangan nasional. Prestasi ini ternyata dicapai tahun lalu, 2024.

Pertanyaannya sederhana: bisakah prestasi ini ditularkan secara masif di seluruh Maluku? Jawabannya sangat bisa.

Maluku Tenggara, misalnya. Konon telah ditetapkan Kementerian Pertanian sebagai sentra bawang merah dengan potensi pengembangan lahan hingga 1.000 hektare. Kalau diseriusi tentu lumayan, menjanjikan.

Jangan lupa di Maluku Barat Daya, di kecamatan Pulau Lakor, desa Yamluli dan Lolotuara. Yang ditanam memang belum banyak. Baru sekitar 7 Ha, tapi sudah nyata dipasarkan. Kualitas umbinya tidak kalah dengan wilayah lain. Apalagi kalau sudah tersentuh teknik pasca panen yang baik.

Jika memakai produktivitas konservatif 14 ton per hektare lahan di Maluku Tenggara, dapat panen sekitar 14.000 ton bawang merah per musim tanam. Jumlah ini sangat signifikan dan berpotensi menutup kebutuhan bawang merah di Indonesia Timur yang selama ini bergantung pada pasokan dari Pulau Jawa.

Namun, potensi besar ini belum sepenuhnya dimanfaatkan. Hambatan klasik seperti akses benih berkualitas, pembiayaan, teknologi pasca panen, serta fluktuasi harga masih membayangi petani. Intervensi kebijakan dan dukungan pemerintah menjadi kunci utama untuk mengatasi persoalan ini.

Keberhasilan model “digital farming” di Dusun Oli memperlihatkan arah baru. Teknologi pertanian seperti irigasi otomatis dan pemupukan terprogram mampu meningkatkan efisiensi, menekan biaya, dan meningkatkan hasil panen. Karena ini bukan eksperimen, melainkan model yang dapat direplikasi secara lebih luas.

Dari sudut pandang pembangunan ekonomi wilayah, pengembangan bawang merah adalah strategi industrialisasi berbasis sumber daya lokal. Apalagi Maluku secara geografis sangat strategis sebagai jalur distribusi pangan ke Papua dan Nusa Tenggara Timur.

Dengan pengembangan serius, Maluku tidak hanya dapat mencapai swasembada bawang merah, tapi juga menjadi pusat ekspor untuk wilayah timur Indonesia. Yang dibutuhkan saat ini adalah keberpihakan anggaran dan sinergi lintas sektor, mulai dari pertanian, infrastruktur, riset, logistik, hingga pemasaran. Pemerintah provinsi dan kabupaten harus merumuskan peta jalan pembangunan yang jelas dan terukur.

Pengalaman Yogyakarta dan Samosir patut ditiru. Keduanya memproduksi 15–20 ton per hektare dengan inovasi dan pendampingan intensif. Tentu bisa jadi pelajaran berharga. Maluku sebenarnya tidak kekurangan sumber daya alam, melainkan perlu kemauan politik dan keberanian mengubah pendekatan pembangunan pertanian secara berkelanjutan.

Dari Timur, kita dapat mulai membangun kedaulatan pangan nasional. Dan langkah awalnya adalah mengembangkan bawang merah sebagai komoditas unggulan. Maluku tempatnya.

Saya terlalu yakin, Maluku bisa!!!

Penulis Fungsional Statistisi BPS Provinsi Maluku

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *