Saatnya Anak Pulau Menjawab Tantangan Sejarah
Oleh: Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Maluku, ZAMRONI VANATH
KAKEHANG| AMBON 21 JULI 2025
Di tengah era keterbukaan informasi dan ledakan teknologi kecerdasan buatan (AI), transparansi tak lagi sebuah pilihan, melainkan keharusan. Masyarakat kini bukan lagi sekadar objek pembangunan, tetapi telah menjelma menjadi subjek aktif yang kritis dalam mengawasi roda pemerintahan. Fenomena ini terlihat nyata dalam dinamika politik Maluku pasca terpilihnya Hendrik Lewerissa dan Abdullah Vanath (HL-AV) sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku.
Langkah awal HL-AV yang menaruh fokus pada pembangunan infrastruktur transportasi laut dan darat layak mendapat apresiasi. Ini bukan sekadar realisasi janji kampanye, melainkan bentuk konkret pengakuan atas kenyataan geografis Maluku sebagai provinsi kepulauan. Apalagi, kini Maluku telah masuk dalam radar Proyek Strategis Nasional (PSN) peluang emas yang harus dikawal dengan kebijakan cerdas, progresif, dan berpihak pada rakyat.
Namun sejarah mengajarkan, provinsi kepulauan seperti Maluku senantiasa menghadapi tantangan fiskal yang tidak ringan. Laut lebih luas dari daratan. Akses antarwilayah kerap terjal. Dan biaya pembangunan nyaris selalu lebih tinggi dibandingkan provinsi kontinental. Maka dibutuhkan strategi luar biasa, bukan sekadar proyek fisik, tetapi juga visi fiskal jangka panjang yang menjadikan keunggulan maritim sebagai tulang punggung pembangunan.
Kelautan, Perikanan, dan Kemaritiman: Pilar Ekonomi Baru
Kini saatnya pemerintah provinsi menempatkan sektor kelautan, perikanan, dan kemaritiman sebagai poros utama ekonomi daerah. Laut bukan sekadar penghubung antarwilayah, tapi sumber daya kehidupan dan kekuatan fiskal, jika dikelola secara inovatif dan berkelanjutan.
Tantangan HL-AV sebagai pemimpin anak pulau jelas di sini: menjadikan laut sebagai strategi pembangunan, bukan sekadar latar belakang geografis. Namun, sektor ini tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Ia membutuhkan modal besar, adopsi teknologi tepat guna, SDM berkualitas, dan yang paling penting, birokrasi yang visioner. Rekrutmen birokrat di era HL-AV harus berdasarkan kompetensi dalam manajemen kelautan dan kemaritiman, bukan loyalitas politik semata.
Pluralisme dan Ketimpangan Sosial Budaya: Menjaga Makna “Orang Basudara”
Maluku dikenal sebagai tanah dengan pluralisme sosial dan budaya yang tinggi. Identitas sebagai “orang basudara” harus dijaga bukan hanya sebagai slogan budaya, tapi ditanam dalam kerangka kebijakan publik yang strategis dan partisipatif.
Sayangnya, selama ini pendekatan kebijakan masih terlalu kering, sekadar angka dan statistik. Padahal, sebagaimana diingatkan filsuf Jürgen Habermas, legitimasi demokrasi bisa runtuh jika negara hanya hadir dalam bentuk sistem dan angka, sementara rakyat hidup dalam relasi makna dan nilai.
Wilayah-wilayah seperti teluk, semenanjung, dan pulau-pulau kecil adalah ruang dengan makna kultural yang mendalam. Pembangunan infrastruktur di wilayah-wilayah ini harus didahului dengan dialog sosial yang tulus dan bermakna. Tanpa itu, proyek-proyek pembangunan hanya akan dianggap sebagai gentrifikasi gaya baru, proyek elite yang meminggirkan makna hidup masyarakat lokal.
Krisis Legitimasi dan Ancaman Politik Identitas
Pemerintah HL-AV mesti mewaspadai satu bom waktu: krisis legitimasi. Ketika kebijakan tidak menyentuh dimensi sosial-budaya masyarakat, ketika birokrasi berjalan tanpa hati, dan pembangunan hanya dinikmati segelintir orang, maka politik identitas akan kembali menjadi alat pelanggengan kekuasaan, warisan kekuatan lama yang hanya berganti baju.
Karl Popper dalam The Open Society and Its Enemies telah mengingatkan, bahwa masyarakat terbuka rentan disusupi musuh dari dalam, mereka yang menolak perubahan namun terus memanfaatkan sistem demi kekuasaan. Tugas HL-AV adalah menjaga agar Maluku tetap terbuka, inklusif, dan bebas dari jebakan oligarki yang sekadar mengganti wajah.
Dialog Adalah Kunci
Sebagai partai politik yang lahir dari rahim antikorupsi dan keterbukaan, PSI Maluku menilai perlu adanya ruang dialog yang setara antara pemerintah dan masyarakat, khususnya mereka yang terdampak langsung oleh program PSN. Dalam konteks fiskal yang terbatas, setiap kebijakan harus dirancang secara partisipatif, berbasis data, dan menyentuh kebutuhan riil masyarakat.
Pemerintahan HL-AV yang baru ini patut dikawal, didukung, dan dikritisi secara konstruktif. Maluku tidak sedang kekurangan sumber daya, tetapi sering kekurangan keberanian dalam membangun nilai dan rasa.
HL-AV memiliki peluang besar untuk menciptakan sejarah baru. Membangun Maluku tidak hanya dengan beton dan baja, tapi juga dengan keadilan, makna, dan semangat anak pulau.
Dan untuk itulah Maluku berharap, kepada pemimpin yang lahir dari pulau, untuk menjawab tantangan pulau.