Oleh: Charles Gigir Anidlah
Di balik hamparan laut biru dan gugusan pulau eksotis di Provinsi Maluku, terdapat denyut kehidupan ekonomi yang kuat namun sering luput dari sorotan utama: sektor rakyat. Bukan tentang perusahaan besar atau investasi asing, melainkan tentang petani pala dan cengkeh, tukang masak sopi, penyuling minyak kayu putih, nelayan tradisional, penjual sagu di pasar, tukang tipar sageru, tukang pukul sagu, hingga pengrajin perahu di desa pesisir. Mereka adalah wajah nyata dari ekonomi Maluku yang sesungguhnya.
Sektor Rakyat = Nadi Ekonomi Lokal
Sektor rakyat di Maluku berakar kuat pada tradisi, budaya, dan kearifan lokal. Rakyat menggantungkan hidup dari laut dan tanah — dua sumber daya alam yang melimpah. Namun sayangnya, mereka masih terjebak dalam rantai nilai yang lemah: akses pasar terbatas, harga komoditas tidak stabil, hingga minimnya perlindungan dan pembinaan berkelanjutan.
Ambil contoh petani cengkeh di Seram atau petani pala di Banda. Harga komoditas yang ditentukan oleh pasar luar menjadikan petani rentan. Sementara itu, nelayan di Pulau Kei, Seram dan Buru masih bergantung pada cuaca dan alat tangkap sederhana yang membuat hasil tangkapan tak menentu.
Namun tidak sedikit anak Maluku, yang jadi petinggi, guru atau cerdik pandai, TNI/POLRI, bahkan teknisi, tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Mereka berasal dari jerih lelah orang tuanya, pengais ekonomi sektor ini, ‘sektor rakyat’.
“Ekonomi rakyat adalah tulang punggung pembangunan daerah. Tapi kalau tidak diberdayakan secara serius, mereka hanya akan menjadi penonton di tanah sendiri,” kata Prof. Dr. Bustanul Arifin, pakar ekonomi pertanian dari Universitas Lampung.
Contoh Aktivitas Sektor Rakyat di Maluku
Sektor rakyat di Maluku mencakup berbagai jenis kegiatan ekonomi, antara lain:
- Pengolahan sagu tradisional oleh kelompok ibu rumah tangga di Seram dan Saparua, bentuknya sangat beragam.
- Penangkapan ikan tradisional menggunakan perahu katinting di Pulau Buru, Tual, dan seantero Maluku. Jenis umpan beragam, termasuk caranya.
- Budidaya pala, cengkeh, dan kelapa di Ambon dan Banda. Sudah terbukti menjadi kebanggaan daerah sejak lebih dari ribuan tahun lalu.
- Kerajinan anyaman daun lontar dan pembuatan perahu kayu di Maluku Barat Daya dan Tanimbar.
- Pembuatan Sopi tradisional yang tersebar di hampir se-antero Maluku.
- Jasa angkutan antar-pulau di kawasan terpencil, yang hampir ada di seluruh wilayah Maluku.
Aktivitas-aktifitas ini menopang hidup ribuan keluarga, sekaligus menjaga budaya dan keberlanjutan ekologi lokal. Juga kelangsungan hidup “mata rumah”nya.
Data Empiris: Serapan Tenaga Kerja
Menurut BPS Maluku (Februari 2025):
- 68,41% tenaga kerja Maluku berada di sektor informal, mayoritas di sektor pertanian, perikanan, dan UMKM — cerminan kuatnya ekonomi rakyat.
- Subsektor pertanian dan perikanan menyumbang 23,56% dari total PDRB Maluku, menjadikannya salah satu penopang ekonomi terbesar provinsi.
- Terdapat 33.613 usaha mikro dan kecil dengan puluhan ribu tenaga kerja tidak dibayar (keluarga), yang bekerja tanpa jaminan sosial maupun akses modal memadai.
Kritik Para Pemikir Dunia : Yang Terlewat dalam Pembangunan Daerah
Apakah aktifitas ‘sektor rakyat’ ini penting? kita lihat catatan beberapa pakar tentangnya.
- Ha-Joon Chang (Ekonom pembangunan, Cambridge University), mengkritik keras pendekatan pembangunan yang hanya mengandalkan pasar bebas dan investasi besar. Dalam bukunya “Kicking Away the Ladder”, ia menyebut bahwa negara-negara maju tidak pernah tumbuh lewat liberalisasi total, melainkan dengan melindungi dan memberdayakan sektor rakyat serta industri kecil lebih dulu.
“Kita tidak bisa meminta masyarakat berkembang memainkan aturan yang tidak pernah digunakan oleh negara-negara kaya saat mereka membangun ekonominya.” — Ha-Joon Chang
Relevansinya untuk Maluku adalah bila kita hanya berharap pada investor besar dan proyek nasional tanpa memperkuat rakyat lokal, maka kita sedang “menendang tangga” yang seharusnya jadi pijakan rakyat untuk naik kelas.
- Vandana Shiva (Filsuf lingkungan dan aktivis perempuan India), menekankan bahwa ekonomi lokal yang berbasis pertanian tradisional, benih lokal, dan pengetahuan masyarakat adalah benteng terakhir terhadap eksploitasi global. Dalam konteks Maluku, praktik seperti pengolahan sagu, kebun campuran pala, dan nelayan kecil adalah bentuk ekonomi ekologis yang berkelanjutan.
“Dalam masyarakat tradisional, pertanian adalah praktik spiritual dan ekologis. Ketika dikomersialisasi secara berlebihan, kita kehilangan keseimbangan.” — Vandana Shiva
Relevansinya untuk Maluku adalah jika sektor rakyat dipaksa mengikuti logika pasar yang kapitalistik tanpa perlindungan, maka kita bukan hanya menghancurkan ekonomi rakyat, tapi juga ekologi dan budaya lokal.
- Manfred Max-Neef (Ekonom humanistik asal Chile), memperkenalkan konsep ekonomi skala manusia (Human Scale Development), di mana pembangunan harus memenuhi kebutuhan dasar manusia secara kontekstual dan bermartabat, bukan sekadar mengejar angka pertumbuhan ekonomi. Ia mengkritik bahwa terlalu banyak kebijakan “makro” melupakan dampak “mikro” terhadap rakyat kecil.
“Kita harus belajar ekonomi dari bawah ke atas, dari sudut pandang orang yang hidup dengan dua dolar per hari.” — Max-Neef
Dalam konteks Maluku, berarti pembangunan harus dimulai dari suara dan kebutuhan petani, nelayan, dan pelaku UMKM — bukan dari investor besar atau kepentingan jangka pendek politik anggaran.
Harapan dan Langkah Nyata
Jika Maluku ingin membangun ekonomi yang kuat, maka ia harus dibangun dari bawah, bersama rakyatnya sendiri, bukan hanya lewat proyek-proyek besar. Beberapa langkah yang dapat diambil:
- Membangun infrastruktur desa dan logistik antar-pulau untuk menurunkan biaya distribusi hasil rakyat;
- Memberikan akses kredit lunak dan subsidi benih/alat tangkap untuk usaha mikro;
- Mendirikan pusat pelatihan usaha lokal berbasis komunitas;
- Menjadikan koperasi dan pasar rakyat sebagai pusat penggerak ekonomi daerah.
Para pandai ekonomi mengingatkan tujuan Penguatan Sektor rakyat ini penting. Karena dapat mengurangi ketimpangan ekonomi; pasti menyerap tenaga kerja lokal; mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif; mengurangi kemiskinan dan pengangguran; dan memperkuat ketahanan ekonomi lokal.
Penutup
“Pembangunan sejati bukanlah tentang pencapaian makroekonomi semata, tapi yang utama tentang apakah rakyat bisa hidup bermartabat dari usaha dan tanahnya sendiri.”
Menggabungkan semangat Chang, Shiva, dan Max-Neefa, maka sektor rakyat di Maluku bukan sisa, tapi fondasi. Mengintip sektor ini berarti menyaksikan semangat bertahan hidup, kreativitas lokal, dan warisan yang masih hidup — semua menanti untuk diberdayakan, bukan dipinggirkan.
Usaha bagea, manisan pala, sopi tradisional, tukang pukul sagu, nelayan, tipar sageru, dan masih banyak lagi adalah “kita”. Sekitar 68,41% tenaga kerja kita ada di situ. Mereka eksistensi kita karena kita berasal dari sana. Semoga!!!