Oleh: Weyber Pagaya, SH
Belakangan muncul kritik bahwa rencana Walikota Ambon menjadikan Terminal Transit Passo sebagai Balai Kota yang baru dianggap melanggar Perda RTRW Kota Ambon Nomor 24 Tahun 2012. Kritik ini menyebut bahwa Pasal 78 RTRW hanya mengarahkan pusat pemerintahan kota di kawasan pusat kota Ambon, sementara Passo diarahkan sebagai kawasan perhubungan, perdagangan, dan pemerintahan kecamatan.
Namun, argumentasi ini perlu dilihat lebih jernih. Ada beberapa hal yang sebenarnya justru memperkuat langkah Walikota Ambon, bukan sebaliknya:
1. RTRW adalah kerangka umum, bukan kaku dan absolut
Perda RTRW memang menjadi pedoman tata ruang, tetapi implementasi teknisnya dijabarkan lebih detail dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Saat ini, Pemkot Ambon sedang menyusun RDTR Baguala–Leitimur Selatan, yang secara hukum dapat mengakomodasi perubahan fungsi lahan, termasuk pemanfaatan Terminal Passo sebagai Kantor Walikota. Artinya, walaupun RTRW mengarahkan pusat pemerintahan di pusat kota, tidak ada larangan absolut untuk melakukan adaptasi demi kebutuhan yang lebih mendesak.
2. Terminal Passo tidak pernah berfungsi sebagai terminal secara utuh
Pasal 21 RTRW memang mengamanatkan penyelesaian pembangunan Terminal Transit Passo. Faktanya, sejak dibangun di era Walikota Papilaya, terminal ini tidak pernah beroperasi sebagai terminal secara utuh. Menurut prinsip tata ruang, fasilitas mangkrak yang tidak digunakan justru lebih merusak wajah kota. Pemanfaatan kembali gedung mangkrak menjadi pusat pemerintahan adalah bentuk revitalisasi aset, bukan pelanggaran.
3. Pusat pemerintahan bisa berkembang secara polisentris
Kritik menyebut pusat pemerintahan hanya boleh di pusat kota. Padahal, tata kota modern banyak mengembangkan konsep polisentris: pusat pemerintahan, ekonomi, dan pelayanan publik dapat tersebar di lebih dari satu wilayah untuk mengurangi beban di pusat kota. Pemindahan Kantor Walikota ke Passo justru sejalan dengan Pasal 17 RTRW yang mengamanatkan pengembangan wilayah Passo untuk mengurangi tekanan penduduk di pusat kota.
4. Bukan pelanggaran hukum, melainkan penyesuaian kebutuhan
RTRW berlaku 20 tahun, tetapi kondisi kota dinamis. Gedung Walikota saat ini sudah tidak layak, sementara biaya membangun gedung baru dari nol sangat besar. Pemanfaatan Terminal Passo adalah jalan tengah yang realistis, hemat anggaran, dan cepat untuk memastikan pelayanan publik tidak terganggu. Itu bukan bentuk pelanggaran, melainkan kebijakan adaptif dalam koridor hukum tata ruang.
5. DPRD dan Pemkot justru menjalankan peran konstitusional
Perda RTRW adalah produk bersama DPRD dan Pemkot. Karena itu, tidak ada yang lebih tepat menafsirkan fleksibilitas RTRW selain kedua lembaga ini. Fakta bahwa DPRD mendukung pemindahan kantor menunjukkan bahwa langkah ini telah mendapat legitimasi politik dan hukum.
Konklusi
Menyebut Walikota dan DPRD keliru adalah prematur. RTRW bukan kitab suci yang tidak bisa disentuh, melainkan pedoman yang bisa diperbarui sesuai kebutuhan kota. Terminal Transit Passo adalah aset mangkrak. Jika dibiarkan, ia menjadi simbol kegagalan, jika dimanfaatkan, ia menjadi simbol transformasi.
Langkah Walikota Ambon Bodewin Wattimena adalah langkah cerdas, visioner, dan adaptif. Bukan melanggar RTRW, melainkan menghidupkan kembali ruang mati menjadi pusat pelayanan publik yang lebih layak.
Bagi siapa saja yang mengkritisi langkah Walikota dan DPRD Kota Ambon, penting untuk diingat bahwa regulasi tata ruang bukanlah sesuatu yang statis dan kaku. Perda RTRW Nomor 24 Tahun 2012 memang masih berlaku hingga 2031, namun perkembangan regulasi di Kota Ambon terus berjalan. Saat ini Pemerintah Kota bersama DPRD tengah menyiapkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang menjadi turunan teknis RTRW, dan di sanalah penyesuaian pemanfaatan ruang dapat dilakukan secara legal dan sah.
Karena itu, sebelum melabeli kebijakan ini sebagai “melanggar aturan”, alangkah baiknya para pengkritik memperdalam pemahaman soal perkembangan regulasi tata ruang di Ambon. Jangan sampai publik justru diarahkan ke jalan yang sesat karena analisa yang parsial. Kritik memang perlu, tapi harus berdiri di atas data, hukum, dan regulasi terbaru, bukan semata-mata kutipan pasal yang dibaca secara kaku.
Walikota Bodewin Wattimena membuktikan diri sebagai pemimpin yang mampu memisahkan prioritas masyarakat dan prioritas ASN dengan jelas. Terminal Transit Passo yang terbengkalai kini disulap jadi pusat pemerintahan baru. Itu bukan sekadar ide, melainkan implementasi regulasi yang adaptif, visioner, dan sesuai dengan dinamika pembangunan kota.
“Kritik itu baik, tapi jangan terjebak pada tafsir sempit yang akhirnya jadi jebakan untuk diri sendiri”, WP