Hendrik Lewerissa – Abdullah Vanath dan Tuntutan Keadilan Maritim-Adat dari Maluku
Oleh: Redaksi KAKEHANG | Weyber Pagaya, SH
I. PROLOG: TERIAKAN DARI TIMUR YANG TERLALU SERING DIABAIKAN
Dalam pertemuan nasional yang biasanya sarat diplomasi dan kalimat lunak, Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa memilih berkata jujur, tegas dan lugas khas orang Maluku:
“Laut kami dikeruk, tapi kami tidak dapat apa-apa.”
Dengan lantang dan berani, Gubernur Hendrik Lewerissa menyatakan ini beberapa saat lalu di depan para legislator Nasional. Pernyataan ini mencerminkan bukan hanya kepedihan satu kepala daerah, tetapi menyuarakan realitas kolektif masyarakat pesisir dan adat Maluku, objektifnya, seantero provinsi kepulauan yang selama ini menjadi korban pembangunan nasional yang sentralistik dan Jakarta-sentris.
Maluku memiliki lebih dari 1.300 pulau, dengan 92,4% wilayah adalah laut. Dalam teori ekonomi, ini adalah anugerah. Dalam praktik pembangunan, ini berubah menjadi beban administratif dan fiskal.
Ketika hasil laut Maluku menyumbang hingga 30% pasokan perikanan nasional, kenapa nelayannya tetap miskin? Kenapa Maluku ini masih miskin? atau memang Maluku ini sengaja dimiskinkan? Ketika kawasan pesisirnya menyimpan keanekaragaman hayati laut kelas dunia, kenapa APBD-nya tidak sebanding dengan nilai SDA yang dikeruk? Kenapa sumber daya alam yang sejatinya adalah milik Maluku, tetapi itu seolah hanya milik “Jakarta”? sementara Maluku hanya dapat “ampas”, sama seperti satu pepatah tua, “Maluku minum kuah, Jakarta makan daging”.
Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa, putra asli Saparua, membawa rekam jejak panjang sebagai advokat, legislator Nasional, selalu bersuara sebelum menjadi kepala daerah terkait dengan ketimpangan dan kesengajaan pusat dalam keberpihakan ke Maluku. Suatu prestasi dan kerja keras serta pengorbanan yang tidak bisa dilihat sebagai kepentingan sepihak, tetapi murni karena Hak masyarakat Maluku yang dikebiri.
Sementara Abdullah Vanath, putra asli Pulau Seram, membawa rekam jejak panjang sebagai pemimpin daerah yang dekat dengan rakyat. Sebagai mantan Bupati SBT, AV dikenal sebagai tokoh yang membumikan pembangunan berbasis desa, adat, dan akses ke wilayah-wilayah terluar. Kini sebagai Wakil Gubernur, AV tidak hanya hadir sebagai pendamping struktural, tetapi sebagai penjaga nilai dan pewaris tanah adat Seram, jantung Maluku, daratan dan asal usul Negeri.
II. SITUASI FAKTUAL: KAYA SUMBER DAYA, MISKIN PENGARUH DAN HAK
1. Laut: Surga Yang Belum Dikelola Oleh Tuan Rumahnya Sendiri
Potensi lestari laut Maluku mencapai 1,6 juta ton ikan per tahun, dengan komoditas unggulan seperti tuna, cakalang, kerapu, kakap, lobster, rumput laut, dan mutiara.
Tapi masalahnya bukan di laut. Masalahnya ada di sistem:
- Transshipment ilegal/legal semi-terbuka membuat ikan tidak didaratkan di pelabuhan Maluku, melainkan langsung dibawa ke Jawa, Bitung, atau bahkan keluar negeri.
- Data hasil tangkap bocor, menyebabkan daerah kehilangan hak fiskal seperti DBH (Dana Bagi Hasil) dan PNBP.
- Nelayan kecil ditekan oleh kuota dan izin yang lebih berpihak pada korporasi nasional dan asing.
2. Darat: Di Bawah Bayang-Bayang Tambang dan Perkebunan
Daratan Maluku menyimpan potensi besar: emas di Buru, nikel di Seram, migas di Tanimbar dan Masela. Namun akses masyarakat terhadap kekayaan itu nyaris nihil.
Tambang beroperasi dengan logika ekstraktif, tanpa pelibatan masyarakat adat secara bermakna.
Hutan dan sumber air adat terancam, dan banyak wilayah adat belum diakui secara hukum negara, meski telah dijaga secara turun-temurun.
III. DIMENSI ADAT: HL-AV SEBAGAI ANAK ADAT, BUKAN SEKADAR PEJABAT PUBLIK
Pengukuhan Hendrik Lewerissa dan Abdullah Vanath sebagai Upulatu dan Pati Maluku oleh Majelis Latupati bukan seremoni biasa. Mereka kini bukan hanya administrator pemerintahan, tetapi anak adat, pemegang titah leluhur:
“Tanah dan laut bukan milik, tapi titipan leluhur yang harus diwariskan dalam keadaan lebih baik.”
Dengan mandat adat itu, arah kebijakan HL-AV tidak bisa netral terhadap modal. Mereka harus berpihak dan keberpihakan itu adalah pada masyarakat adat, bukan pada pemilik modal.
IV. KETIMPANGAN REGULASI DAN JALUR POLITIK YANG HARUS DITEMBUS
1. RUU Daerah Kepulauan: Jalan Menuju Keadilan Fiskal
Formula DAU dan DAK hanya menghitung luas darat dan jumlah penduduk. Ini tidak adil bagi provinsi seperti Maluku yang luas lautnya 712.479 km², namun hanya dihitung sebagai 54.185 km².
RUU Daerah Kepulauan adalah mandat konstitusional untuk memulihkan hak fiskal daerah maritim seperti Maluku, NTT, dan Sulut.
2. UU Perikanan dan PP Penangkapan Ikan Terukur: Harus Direvisi
PP 11 Tahun 2023 terlalu memusatkan kuasa pengelolaan laut ke Jakarta. Pemda seperti Maluku hanya jadi penonton dalam pengambilan keputusan.
Maluku butuh Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil yang mengakui hak kelola masyarakat adat dan nelayan lokal.
V. INVESTASI YANG BERDAULAT: BUKA PINTU DUNIA, TAPI DENGAN FILOSOFI TIMUR
Maluku terbuka untuk investasi. Tapi Maluku tidak untuk dijual murah.
“Beta pung negeri bukan untuk dilelang, tapi untuk dibangun bersama. Beta pung laut bukan untuk kapal asing, tapi untuk anak cucu di negeri ini.”
Narasi investasi baru dari Maluku harus berbasis:
- Kemitraan jangka panjang, bukan eksploitasi jangka pendek.
- Transfer teknologi dan keahlian, bukan sekadar ambil bahan mentah.
- Ekspor langsung dari pelabuhan lokal ke pasar internasional, bukan melalui pelabuhan luar provinsi.
- Fasilitasi UMKM kelautan dan pertanian berbasis komunitas adat, dengan akses ke pasar digital dunia.
- Kawasan ekonomi adat-modern kolaboratif, di mana investor luar bekerja bersama negeri-negeri adat dalam sistem yang saling menghormati.
Maluku siap menjadi poros ekonomi maritim Indonesia Timur, asal diberikan kepercayaan dan otoritas mengelola kekayaannya sendiri.
VI. REKOMENDASI STRUKTURAL: DARI KEBIJAKAN HINGGA LEMBAGA DAERAH
- Badan Otorita Laut Provinsi Maluku
Mengatur pendaratan ikan, zona tangkap, ekspor langsung, dan pendataan hasil laut. - Perda Perlindungan Masyarakat Adat dan Laut
Memberikan dasar hukum bagi negeri adat untuk melindungi ruang hidup dan kedaulatannya. - Skema Kuota Berbasis Komunitas
Memisahkan kuota nelayan lokal dari korporasi, dengan insentif khusus untuk nelayan adat dan perempuan pesisir. - Audit Sosial dan Ekologis Investasi
Izin tambang, HTI, dan proyek besar harus melalui kajian kelayakan sosial-ekologis berbasis adat. - Platform Digital Desa Laut
Menghubungkan desa nelayan langsung ke pasar, dengan sistem transparan berbasis komunitas.
VII. PENUTUP: DARI LAUT, UNTUK TANAH, DEMI NEGERI UNTUK MALUKU
Suara Gubernur HL-AV bukan sekadar kritik. Itu adalah ultimatum moral:
Jika laut terus dikeruk tanpa keadilan, maka tanah pun akan kehilangan daya hidupnya.
Jika masyarakat adat terus diabaikan, maka legitimasi negara pun akan goyah.
Kepemimpinan HL-AV adalah kepemimpinan yang bertumbuh dari bumi Maluku sendiri. Dari tanah Seram, Buru, laut Banda, hingga sampai ke pelosok Aru, dan Maluku Barat Daya. Dari negeri adat hingga panggung nasional, keduanya membawa amanah bukan hanya dari konstitusi, tetapi dari tetua dan leluhur.
Suara mereka bukan sekadar tuntutan daerah. Itu adalah peringatan kepada republik: bahwa jika pusat terus meminggirkan Maluku, maka Maluku akan menuntut ruangnya sendiri.
Kini saatnya negara menegakkan keadilan fiskal, kedaulatan maritim, dan pengakuan hak adat, bukan karena belas kasihan, tapi karena itu murni hak konstitusional dan sejarah yang tak boleh lagi ditunda.
Kini bukan soal apakah Maluku bisa kaya. Tapi apakah Maluku bisa berdaulat atas tanah dan lautnya sendiri yang kaya.
“Beta pung negeri pung kekayaan bukan untuk dijual. Tapi untuk dipakai bersama anak cucu. Beta pung laut bukan untuk kapal asing. Tapi untuk beta pung anak nelayan.”
Edisi Utama KAKEHANG | Untuk Advokasi RUU Kepulauan, Keadilan Adat, dan Kedaulatan Laut serta Peluang Investasi Maluku.
Hubungi: kakehangredaksi@gmail.com| @sakamenanews | #KakehangBersuara #ParMalukupungBae