Oleh: Weyber Pagaya, SH
Polemik Terminal Transit Passo kembali mengemuka setelah Walikota Ambon mengungkapkan rencana pemindahan Kantor Balai Kota ke kawasan itu. Kritik menyebut pernyataan Walikota keliru karena menilai Terminal Passo sebagai aset gagal.
Namun mari jujur: Terminal Transit Passo memang menelan anggaran puluhan miliar, tetapi hingga kini tidak pernah berfungsi sesuai tujuan awalnya. Gedungnya mangkrak, fasilitasnya tidak lengkap, bahkan secara fisik tidak layak disebut gedung terminal penumpang. Maka menyebutnya aset gagal bukan kebohongan publik, melainkan pengakuan terhadap kenyataan pahit yang selama ini coba dihindari.
Seorang pemimpin yang berani menghadapi fakta adalah pemimpin yang siap mencari solusi. Walikota Bodewin Wattimena tidak sedang menciptakan polemik, justru sedang membuka jalan keluar agar aset bernilai puluhan miliar itu tidak menjadi monumen sia-sia.
Kritik menekankan pada dasar regulasi perhubungan bahwa Terminal Tipe B merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi. Argumen ini seolah sahih, tetapi lemah secara substansi. Mengapa? Karena Terminal Passo tidak pernah selesai, tidak pernah dioperasikan dan tidak pernah berfungsi secara utuh sebagai terminal.
Jika sejak awal sebuah proyek gagal diwujudkan sesuai tujuan, maka landasan aturan tentang pengoperasian terminal tidak bisa dipaksakan sebagai dasar hukum. Tidak ada terminal yang berjalan secara utuh, yang ada hanyalah bangunan mangkrak yang tidak elok dilihat. Maka logika sederhana berlaku: bagaimana mungkin peraturan terminal dijadikan acuan atas gedung yang bahkan tidak pernah menjadi terminal secara utuh?
1. Kedudukan dalam RTRW dan RDTR
Berdasarkan Perda No. 24 Tahun 2012 tentang RTRW Kota Ambon, kawasan Passo memang diarahkan sebagai simpul transportasi. Namun RTRW adalah dokumen makro yang bersifat fleksibel dan bisa ditinjau ulang sesuai kebutuhan publik. Lebih jauh, turunan dari RTRW yaitu Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang sementara digodok di DPRD Kota Ambon, memberikan ruang adaptasi pemanfaatan ruang ketika fungsi awal tidak dapat dijalankan secara optimal.
Dengan kondisi Terminal Passo yang terbengkalai, penggunaan kembali gedung tersebut sebagai Kantor Walikota justru selaras dengan semangat tata ruang: memanfaatkan ruang kota secara efektif, efisien, dan berdaya guna bagi masyarakat.
RTRW bukan kitab suci yang kaku, tidak absolut, melainkan instrumen dinamis. Banyak kota lain menyesuaikan RTRW mereka ketika ada kebutuhan publik yang lebih strategis. Maka rencana Walikota Ambon bukanlah pelanggaran, tetapi suatu bentuk adaptasi regulasi tata ruang demi kepentingan bersama.
2. Terminal Mangkrak, Regulasi Tidak Relevan
Kritik mendasarkan pada UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kedua aturan ini memang menegaskan kewenangan pengelolaan Terminal Tipe B di tangan Pemerintah Provinsi.
Namun, kembali ke akar masalah: Terminal Passo tidak pernah berfungsi utuh sebagai terminal. Aktivitas transportasi dipaksakan dalam proyek mangkrak, operasional serta bangunannya tidak pernah rampung sesuai standar terminal. Maka, peraturan tentang pengelolaan terminal sangat tidak relevan untuk digunakan dan dijadikan dasar.
Dalam logika hukum tata ruang, yang diatur adalah sesuatu yang nyata berfungsi. Jika tidak ada fungsi, maka tidak ada kewenangan yang bisa dijalankan. Dengan kata lain, Pemkot Ambon bebas memanfaatkan asetnya tanpa terikat oleh regulasi terminal yang tidak pernah hidup.
3. Aset Tetap Milik Pemkot Ambon
Terminal Transit Passo dibangun dengan APBD Kota Ambon ± Rp44 Miliar dan ditambah APBN ± Rp10,6 Miliar. Secara pencatatan aset, gedung tersebut adalah milik Pemerintah Kota Ambon.
Kewenangan Provinsi hanya berlaku jika bangunan itu difungsikan sebagai terminal tipe B. Tetapi jika Pemkot mengalihfungsikan sebagai Balai Kota, maka hal itu sah sebagai hak pemilik aset. Maka justru pernyataan Walikota yang menyebut Passo sebagai aset gagal adalah benar: aset itu ada, tapi tidak pernah berfungsi sesuai tujuan awal.
4. Solusi Ekonomi, Publik, dan Tata Kota
Dengan menjadikan Passo sebagai Balai Kota, manfaat nyata bisa diperoleh:
- Ekonomi lokal hidup karena ASN beraktivitas di sana.
- Pelayanan publik modern terwujud lewat ruang yang layak dan representatif.
- Anggaran daerah hemat karena tidak perlu membangun kantor baru dari nol.
- Strategi tata kota lebih seimbang dengan konsep polisentris, tidak menumpuk semua beban di pusat kota.
- Berkurangnya Kemacetan di pusat kota Ambon karena Ribuan ASN Pemkot akan lebih banyak beraktifitas di Passo.
5. Transformasi dari Monumen Gagal ke Ikon Baru
Terminal Passo adalah monumen kegagalan masa lalu. Namun kepemimpinan Walikota hari ini berani mengubahnya menjadi ikon baru pemerintahan modern Ambon. Inilah seni kepemimpinan: menghidupkan yang mati, mengubah masalah menjadi solusi.
Konklusi
Terminal Transit Passo memang tercatat sebagai terminal dalam RTRW, tetapi karena tidak pernah berfungsi utuh, regulasi terminal tidak bisa dijadikan penghalang. Yang ada hanyalah bangunan mangkrak dan sebagai aset sah Pemkot Ambon, wajar jika Walikota menggunakannya untuk kepentingan yang lebih besar yaitu pelayanan publik.
Dengan demikian, kritik yang menyebut Walikota keliru justru tidak berdiri pada pijakan kuat. Menyelamatkan aset mangkrak, menghidupkan ekonomi lokal, meningkatkan pelayanan publik, serta menata kota secara lebih cerdas adalah langkah visioner dan bukan kesalahan.
Terminal Passo kini mendapat kesempatan kedua: dari simbol kegagalan, menjadi ikon kebangkitan Ambon. Dari Terminal Menjadi Balai Kota, Sah !!!













