Industrialisasi Sopi Jadi Solusi Sosial-Ekonomi
KAKEHANG | Ambon, 30 Juli 2025
Ketua DPD GAMKI Maluku, Samuel Patra Ritiauw, menanggapi kontroversi pernyataan Wakil Gubernur Maluku mengenai sopi dengan pendekatan kritis, namun proporsional. Menurutnya, pernyataan tersebut keliru secara teologis, tetapi mengandung kebenaran sosiologis dan peluang solusi ekonomi yang tak bisa diabaikan.
Dari Perspektif Iman: Kami Koreksi Diksi, Nilai Firman Tidak Bisa Ditawar
Samuel secara tegas menyampaikan bahwa dari sudut pandang teologi Kristen, pernyataan bahwa “hukum Tuhan tidak lagi manjur” merupakan bentuk kekeliruan yang patut dikoreksi. Alkitab dengan jelas menegaskan bahwa Tuhan memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih, namun pilihan itu tetap dalam kerangka moral Firman Tuhan.
“Saya kecewa dengan diksi yang digunakan oleh Bapak Wakil Gubernur. Firman Tuhan tidak bisa dibilang tidak manjur hanya karena manusia tidak taat. Itu bukan salah Firman, tapi salah manusia,” ujar Samuel.
Dalam pernyataan resmi yang diterima KAKEHANG, Sammy menegaskan bahwa dari sudut pandang iman Kristen, ucapan tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai Alkitab. Ia mengutip Mazmur 119:105 berbunyi:
“Firman-Mu pelita bagi kakiku, dan terang bagi jalanku”.
Sebagai dasar bahwa Firman Tuhan adalah tuntunan utama bagi hidup orang percaya. Ia juga menambahkan Amsal 11:19 berbunyi:
“Siapa berpegang pada kebenaran, menuju kehidupan; tetapi siapa mengejar kejahatan, menuju kematian”.
Sebagai peringatan agar umat Kristen senantiasa memilih jalan kebenaran, bukan membenarkan sesuatu yang dapat menimbulkan dosa atau kejahatan.
Sosiologis: Pernyataan Wagub Benar, Sopi Adalah Masalah Sosial Nyata
Namun, GAMKI Maluku juga menilai bahwa dari sudut pandang sosiologi, apa yang disampaikan Wagub adalah refleksi dari realitas sosial yang tidak bisa dibantah. Data bulan Juli 2025 menunjukkan bahwa 34% tindak kekerasan di Maluku disebabkan oleh konsumsi miras, terutama sopi.
“Ini fakta. Para pendeta dan ustadz sudah bicara keras soal miras, tapi realitanya masyarakat masih abaikan. Artinya, ada masalah yang lebih dalam yang harus diselesaikan secara sistemik, bukan hanya moralistik,” tegasnya.
Ekonomi: Sopi Harus Diubah dari Masalah Sosial Jadi Potensi Industri
Samuel menggarisbawahi bahwa jika pemerintah cerdas, maka sopi bisa diubah dari racun sosial menjadi potensi ekonomi melalui pendekatan industrialisasi dan regulasi.
“Sopi bisa dijadikan produk alkohol legal seperti bioetanol, antiseptik, hingga ekspor alkohol industri. Kalau dikelola, ini bisa jadi sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) sekaligus menekan kriminalitas,” jelas Samuel.
Beberapa poin penting dari strategi ekonomi berbasis pengelolaan sopi yang diajukan GAMKI Maluku:
- Petani sopi atau penitifar harus memiliki izin produksi resmi.
- Hasil produksi hanya boleh dijual ke pemerintah, bukan pasar bebas.
- Pemerintah bertindak sebagai pengelola dan distributor industri turunan sopi, seperti alkohol industri, kosmetik, hingga desinfektan.
- Harga jual ke pasar dinaikkan secara signifikan, sehingga sopi tidak lagi terjangkau masyarakat bawah, remaja, atau pelajar.
- Tempat penjualan harus memiliki izin, lokasi jauh dari rumah ibadah dan permukiman padat.
- Pembeli sopi harus terverifikasi sebagai orang dewasa dengan penghasilan tetap.
- Penjual ilegal akan dikenakan sanksi hukum tegas.
Dengan skema ini, menurut Samuel, pengendalian konsumsi tercapai, lapangan kerja terbuka, petani sopi punya pendapatan legal, dan pemerintah mendapat PAD dari sektor yang selama ini dianggap tabu.
“Kalau bisa dikendalikan dan memberi manfaat, kenapa harus dibiarkan liar? Ini soal keberanian politik dan visi sosial-ekonomi jangka panjang,” tambahnya.
Dukungan GAMKI dan Seruan untuk Bersatu Mencari Solusi
Polling internal DPD GAMKI Maluku terhadap 6.000 responden menunjukkan bahwa 90% mendukung adanya regulasi legalisasi terbatas untuk pengelolaan sopi. Ini mencerminkan suara masyarakat yang mulai realistis terhadap urgensi perubahan pendekatan dalam penanganan miras.
“Kami mengajak semua elemen—agama, pemuda, tokoh adat, dan pemerintah—untuk duduk bersama. Ini bukan soal membenarkan miras, tapi soal menyelamatkan generasi dan memperbaiki sistem,” tegasnya.
Samuel juga menegaskan bahwa pernyataan Wagub tidak bisa dilihat sebagai penistaan, melainkan sebagai bentuk keprihatinan atas lemahnya efektivitas pesan keagamaan terhadap realitas sosial masyarakat.
“Mari kita bersikap jernih. Wacana ini harus jadi momentum evaluasi bersama. GAMKI siap jadi mitra dalam menyusun regulasi yang adil, manusiawi, dan berdampak positif bagi Maluku,” tutup Samuel.