KAKEHANG | Negeri Hatu, 9 Juni 2025
Di tengah harapan masyarakat Negeri Hatu akan pemerintahan desa yang lebih transparan dan akuntabel, justru muncul sejumlah keganjilan administratif dan dugaan penyimpangan keuangan dalam masa transisi kepemimpinan. Penjabat Kepala Pemerintahan Negeri Hatu, Sherly M. Marlissa, A.M.Pd, mengungkapkan berbagai hambatan serius yang menghalangi jalannya roda pemerintahan sejak awal ia dilantik.
Sherly, seorang pendidik yang kini dipercaya memimpin salah satu negeri adat di Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, berbicara panjang lebar kepada Sakamena News mengenai peliknya kondisi birokrasi dan keuangan desa yang kini menjadi tanggung jawabnya.
Dana Dicairkan Sebelum Pelantikan, Tanpa Transparansi
Salah satu temuan awal yang cukup mengejutkan adalah adanya pencairan dana desa sebesar Rp88 juta pada 21 Mei 2025, atau tepat sehari sebelum dirinya resmi dilantik sebagai Penjabat Kepala Pemerintah Negeri. Dana tersebut dicairkan oleh staf desa bersama mantan pejabat sebelumnya, Hadija Kibas, dalam suasana yang menurut Sherly, minim transparansi dan tidak diketahui arah penggunaannya.
“Proses pencairan dana dilakukan saat masa transisi, padahal waktu itu beta belum dilantik. Dana itu katanya untuk program kerja fisik dan kegiatan desa lainnya. Tapi sampai sekarang, beta belum terima dokumen pendukungnya,” jelas Sherly, dengan nada serius.
Ia mengaku, sebagai penjabat baru, dirinya tidak diberi dokumen administrasi maupun laporan pertanggungjawaban terkait dana tersebut. Permintaan lisan dan tertulis telah diajukan kepada perangkat desa yang lama, namun hingga kini tidak membuahkan hasil.
“Kalau memang beta ini kurang, bapak ibu kasih kelebihan, supaya beta bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sampai sekarang, dokumennya tidak ada di beta,” tambahnya.
Audit Temukan Penyimpangan Rp1 Miliar Lebih
Tak berhenti di pencairan mencurigakan, Sherly juga mengungkap bahwa audit resmi dari Inspektorat Kabupaten Maluku Tengah menemukan adanya penyimpangan keuangan desa yang nilainya lebih dari Rp1 miliar. Hasil audit ini telah disampaikan ke Pemerintah Negeri secara resmi, termasuk kepada tua-tua adat dan anggota Saniri Negeri.
“Dokumen audit dari Inspektorat sudah beta sampaikan di dalam rapat resmi. Tapi yang menyedihkan, semua orang bersikap biasa-biasa saja, padahal ini masalah yang sangat serius,” kata Sherly.
Sayangnya, reaksi dari internal pemerintahan desa tidak menggambarkan kepedulian yang sepadan. Pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab termasuk Bendahara Negeri Tomas Lawery dan Sekretaris Negeri Irene Marlisa belum juga menunjukkan langkah konkret untuk menindaklanjuti temuan audit tersebut.
“Ini bukan sekadar angka di atas kertas. Ini uang masyarakat. Kalau dibiarkan, ini akan terus menjadi beban rakyat,” tegasnya.
Ruang Kerja Diblokir, Pemerintahan Terganjal
Masalah berikut yang juga cukup mencengangkan adalah fakta bahwa Sherly belum bisa mengakses ruang kerja resminya sebagai Penjabat Kepala Pemerintah Negeri. Kunci ruang kerja tersebut hingga kini masih dikuasai oleh Onya Hehalatu, yang merupakan kerabat dari pejabat sebelumnya. Upaya pendekatan secara persuasif telah dilakukan, namun tak kunjung membuahkan hasil.
“Situasi ini jelas menghambat jalannya pelayanan publik dan kelancaran tugas administrasi. Katong mau kerja, tapi fasilitas dasar saja belum bisa digunakan,” tutur Sherly, dengan nada kecewa.
Ia menilai bahwa penguasaan fasilitas negara oleh individu yang tidak memiliki legalitas jabatan merupakan bentuk pelanggaran serius dan simbol buruk bagi tata kelola pemerintahan.
“Kalau ruang kerja pejabat saja tidak bisa dibuka, bagaimana beta bisa jalankan pemerintahan dengan baik?” tanyanya retoris.
Mentalitas Lama Masih Mengakar
Dalam pengamatannya, Sherly menyimpulkan bahwa pola birokrasi lama masih sangat kuat mengakar, terutama dalam praktik yang tidak transparan, dominasi individu tertentu, dan resistensi terhadap kepemimpinan baru. Ia menyebut bahwa kesadaran kolektif akan tanggung jawab publik masih sangat rendah, bahkan dari jajaran struktural pemerintahan yang memiliki akses langsung terhadap kas dan dokumen desa.
Namun di tengah semua itu, Sherly tetap menunjukkan komitmen tinggi. Dengan segala keterbatasan, ia mengaku terus menjalankan tugasnya, bahkan menggunakan ruang tamu pribadinya sebagai pos komando pemerintahan sementara.
“Beta tetap jalankan tugas-tugas pemerintahan sebaik mungkin karena ini tanggung jawab yang Tuhan titipkan ke beta. Yang pasti, beta sangat berharap dukungan dari semua pihak agar pemerintahan ini bisa berjalan dengan baik dan berpihak kepada masyarakat,” pungkasnya.
Negeri Butuh Pembenahan Sistemik
Kisah Sherly Marlissa menggambarkan betapa lemahnya sistem transisi dan kontrol internal di tingkat pemerintahan desa, yang memungkinkan celah penyimpangan, resistensi kekuasaan, dan praktik birokrasi tak sehat. Pengalaman yang ia hadapi membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang pentingnya regulasi ketat, mekanisme audit real-time, dan proteksi hukum bagi pejabat baru yang ingin bekerja jujur.
KAKEHANG bersama Tim Investigasi Ka’Lau Ka’Dara News Group akan terus mengawal, termasuk memverifikasi lebih lanjut laporan keuangan desa, meminta klarifikasi dan Hak Jawab dari mantan pejabat dan Saniri Negeri, serta menelusuri langkah apa yang akan diambil oleh Pemkab Maluku Tengah terhadap dugaan penyimpangan ini.
Redaksi KAKEHANG bersama Tim Investigasi Ka’Lau Ka’Dara News Group membuka ruang hak jawab bagi semua pihak agar pemberitaan yang beredar tetap berimbang, sesuai prinsip jurnalistik yang jujur dan adil.
Jika Anda memiliki informasi tambahan atau klarifikasi lanjutan, silakan kirimkan email ke: kakehangredaksi@gmail.com atau hubungi langsung tim kami di nomor 0821-1475-7575.